Jika
kamu pernah terluka karena sesuatu, kamu pasti tahu berapa lama pula waktu yang
pernah kamu butuhkan untuk bangkit dari sana. Belum sembuh luka itu, belum
kering luka itu, muncul pula luka yang sama, yang membuat luka yang kemarin
semakin menganga.
Cerita
itu berlanjut. Setelah aku berusaha dengan susah payah untuk bangkit dari
keterpurukanku. Dengan segala upaya aku mencoba mengikhlaskan proposal
skripsiku yang pertama dengan judul, “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Islami
dalam Novel Api Tauhid Karya Habiburrahman El-Shirazy.” Entah jalan apa
yang Allah hendak tunjukkan padaku, namun aku harus tetap berbaik sangka
pada-Nya.
Proposal
skripsi kedua dengan judul, “Konsep Pendidikan Akhlak dalam Perspektif Imam
al-Ghazali (Studi Analisis Kitab Ihya Ulumuddin)” kembali kulengkapi
bagian-bagian yang masih kosong, karena sebelumnya memang sudah ada yang aku
selesaikan sedikit-sedikit. Aku mulai menata hati kembali, mencoba benar-benar
mengikhlaskan walau aku sendiri tahu, tidak semudah itu melupakannya.
Sekali
lagi, kalian berhak menilai seperti apapun diriku. Tapi aku juga berhak untuk
menjelaskan secara detail runtutan kejadian itu. Agar aku tahu, siapa saja yang
bersikap objektif, dan sebaliknya.
Hari
Jum’at aku kembali memutuskan untuk ke kampus. Terlebih dahulu kutemui Kaprodi,
menunjukkan proposal keduaku.
Kaprodi: “Gimana, udah ketemu Dekan?”
Kenapa aku harus ketemu Dekan? Aku tidak
menjawab pertanyaan itu.
Aku: “Ini, Bu. Proposal kedua, saya udah
bikin.” Beliau memerhatikan sejenak judul proposal itu, dan manggut-manggut.
Kaprodi: “Bagus. Ini kamu teliti dengan
kitabnya?”
Aku: “Iya, Bu, beserta kitabnya.”
Kaprodi: “Bagus, kalau kamu bisa meneliti itu.
Sekarang kamu ke Dekan dulu, cuma minta ACC judul, nanti Ibu kasi Dosen
Pembimbing. Bilang, ini bu saya udah capek-capek bikin proposal.”
Aku:
“Iya, Bu.”
Tak
bisa kugambarkan perasaanku saat itu, entah kenapa aku terus saja merasa bahwa
akan ada kejadian lagi di sini. Tapi pikirku, jika kejadian pertama berulang
lagi, aku tidak tahu bagaimana lagi menyebut Dekan itu sebagai apa. Jika kalian
menilai aku riya dan segala macamnya karena menyebut-nyebut kebaikan diri
sendiri, itu lagi-lagi hak kalian untuk itu. Aku cuma ingin mengatakan aku
berkali-kali jatuh sakit hanya karena kepikiran proposal ini terus. Sekitar
satu jam aku menunggu.
Pertama-tama
aku tunjukkan proposal pertama.
Aku:
“Ini kemarin, Bu, yang Ibu minta menghadap ke Kaprodi, tapi beliau bilang saya
tidak bisa meneliti ini karena penulisnya masih hidup. Terus beliau juga tanya
saya ada proposal kedua? Saya bilang ada. Dan beliau bilang lagi ini bisa kamu
teliti karena sudah meninggal (Imam al-Ghazali), kamu buat saja dulu.”
Dekan: “Terus sudah buat?”
Aku: “Sudah, Bu.” Kutunjukkan proposal kedua
itu. Aku kira bakal langsung dikomentari dan apalah namanya itu, tapi tidak.
Dekan:
“Kamu saya lihat suka nulis ya? Ibu lihat cara berbahasa kamu sudah bagus.
Sudah punya berapa novel?”
Aku
agak terkejut dengan pertanyaan itu. Loh, ada apa memangnya? Selama ini aku gak
pernah memunculkan diri, menampakkan diri ke Dosen-Dosen.
Aku:
“Baru satu, Bu.”
Dekan:
“Nulis berapa lama itu satu novel?”
Aku:
“Gak nyampe 6 bulan, Bu.”
Dekan:
“Hebat itu. Sudah punya title penulis. Judul kamu ini sudah bagus, ini sudah
ada konsepnya, tinggal bagaimana di lapangan, kaitkan ke lapangan.”
Kenapa lagi-lagi ke lapangan? Ini sudah jelas-jelas
penelitian pustaka. Masa iya ada dua jenis penelitian dalam satu skripsi. Ini
jadinya ketidakjelasan metodologi.
Aku: “Tapi kan ini meneliti Kitab Ihya, Bu.”
Dekan: “Iya, tetap Ihya, tapi coba kaitkan ke
lapangan.”
Jika saja waktu itu aku punya jurus
menghilang, ingin rasanya segera kugunakan. Pengen tiba-tiba menghilang mau ke
Mars.
Dekan: “Itu kan ada, prinsip tri dharma. Di
samping menulis, juga meneliti.”
Beliau
menjelaskan agak panjang masalah itu. Dan tidak bisa kutuliskan di sini, karena
banyak yang terlupa.
Dekan: “Ini kan tinggal pindahin
saja dari Kitabnya terus masukin skripsi.”
Whattttt?
Memangnya seperti itu cara menulis skripsi? Sesimple itu? Ini bukan sekadar
makalah untuk presentasi dalam kelas, tapi karya ilmiah yang dipertanggungjawabkan
keasliannya, bahkan bisa jadi dinilai plagiat jika dalam tulisan itu terlalu
banyak dicantumkan catatan kaki tanpa ada analisis dari penulis sendiri. Jujur,
aku benar-benar tidak mengerti ini.
Dan entah kenapa aku merasa beliau terlalu
memujiku waktu itu, terutama masalah penulis itu.
Dekan: “Sudah penulis, peneliti, kamu ambil
program berapa juz di sini?”
Aku: “*0 juz, Bu.”
Dekan: “Ngafalinnya berapa lama?”
Aku: “Selama di sini, Bu.”
Dekan: “Nah itu, tinggal *0 juz lagi, selesai.
Sudah penulis, peneliti, hafizah lagi. Begini nih sebenarnya yang Ibu cari.
Kamu dapat beasiswa?”
Aku: “Gak, Bu.”
Dekan: “Gak deket-deket Ibu sih. Kemana aja?
Coba deket Ibu pasti kamu dapat tuh.”
Selama di
MTs, dan di MA, jujur aku paling malas dengan santri yang suka cari muka depan
guru. Bukan berarti tidak menghormati guru ya, tolong dibedakan. Istilah
sekarangnya caper sama guru. Dan itu yang aku lakukan sampai di bangku kuliah.
Aku tidak suka terkenal dan segala macam istilahnya itu. Apalagi menonjolkan
diri sendiri, dan kemampuan ke yang lain. NO. Itu sekali lagi bukan diriku.
Jikalaupun ada yang menilai aku pintar, cerdas, dan apalah pokoknya, ya biarkan
mereka sendiri yang menilai, yang intinya adalah bukan aku yang menjelaskan
itu. Kalian tentu tahu satu ungkapan ini, Langit
tidak perlu menjelaskan bahwa dirinya tinggi.
Aku
tidak bisa banyak berkutik waktu itu, dikarenakan ini proposal baru yang
kutulis, belum banyak membaca juga tentang itu. Jadinya aku tidak bisa berkata
banyak. Aku mengakhiri pertemuan itu denga perasaan kacau kembali. Sepanjang
jalan pulang ke kostan aku terus saja
memutar otak. Bagaimana caranya ini?
Aku
putuskan untuk membaca lagi terlebih dahulu. Baik itu skripsi, jurnal, ataupun
tesis yang meneliti tentang pemikiran al-Ghazali. Aku mulai berpikir, mungkin
penelitian ini bisa dikaitkan dengan lapangan, dengan cara merelevansikan
konsep akhlak al-Ghazali ini di Pesantren. Hanya sekadar menunjukkan bahwa
konsep ini masih dipakai hingga saat ini. Atau alternatif lainnya mungkin dengan
peraturan perundang-undangan.
Sore
hingga malam, aku terus saja membaca. Dan beberapa kesimpulan sudah ada di
tanganku.
Tibalah
esoknya aku mulai percakapan lagi lewat WA.
Aku:
“Assalamualaikum. Ibu saya N****. Kalau konsul ke Ibu di WA, boleh gak bu?”
Dekan:
“Boleh.”
Aku:
“Ibu. Judul saya kan ini, (sambil kufotokan cover proposal), kata Ibu kemarin,
dikaitkan ke lapangan. Ini kan penelitian pustaka ya bu, Library Research. Jadi, kalaupun mau dikaitkan di lapangan,
mungkin opsi lainnya ada di teknik pengumpulan data, yaitu dokumentasi dan
wawancara. Tapi masalahnya lagi, Bu, penelitian ini adalah penelitian pemikiran
tokoh/studi tokoh, dalam kaidah Metodologi Penelitian kalau penelitian itu
adalah penelitian studi tokoh, maka teknik pengumpulan datanya hanya bisa
dilakukan dengan cara dokumentasi, tidak boleh ada wawancara ataupun observasi,
dikarenakan pemikiran tokoh yang diteliti sudah meninggal. Boleh saja
wawancara, tetapi tokoh itu harus masih hidup. Jadi, saya mengambil inisiatif
lain, Bu. Mungkin saja kalau misalnya konsep Imam al-Ghazali ini dikaitkan
dengan Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, SISDIKNAS. Bagaimana, Bu.”
Jika
kalian ingat, isi perbincangan aku dengan Kaprodi, yang mengatakan kalau aku
tidak boleh meneliti Novel Api Tauhid karena Kang Abik masih hidup. Aku rasa
jawabannya di sini. Tapi kesimpulanku tetap sama, penelitian Novel kemarin
adalah bukan studi tokoh, bukan meneliti pemikiran tokoh, tapi aku meneliti
Nilai-Nilai atau Pesan-Pesan akhlak dalam Novel itu. Silahkan berkesimpulan
sendiri.
Dekan: “Jadi kalimatnya gimana?”
Aku: “Kalau misalnya dimasukkan ke
dalam judul mungkin bunyinya seperti ini, Bu Konsep Pendidikan Akhlak dalam Perspektif Imam al-Ghazali dan
Relevasinya terhadap Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia (Studi Analisis
Kiyab Ihya Ulumuddin). Tapi kalau menurut saya, Bu, jika judulnya seperti
ini, mungkin agak terlalu bagaimana ya, Bu, bisa membuyarkan fokus penelitian
awal yang ingin meneliti pemikiran Imam al-Ghazali tentang Konsep Pendidikan
Akhlak. Karena fokus penelitiannya adalah kitab Ihya Ulumuddin, dan
tidak sesederhana mungkin dengan yang Ibu maksud, (sambil kumasukkan emoticon
tersenyum) tidak hanya sekadar kitab ini saja, tapi kitab Ihya ini
adalah sumber primer (utama), sumber sekunder lainnya ada kitab-kitab beliau
tentang akhlak juga, seperti Minhajul Abidin, Ayyuhal Walad, dll. Jadi saya
ambil opsi lain, cukup menjadi sub bab di bab 4 tentang pengkaitan dengan
SISDIKNAS.”
Kukira beliau yang akan menjawab itu, ternyata
beliau lemparkan ke Dosen lain, yang dominannya mengerti tentang peraturan
perundang-undangan.
Dekan: “Ini lagi-lagi harus
dihubungkan ke standar isi Mata Pelajaran Akhlak. Konsep Akhlaknya Gozali apa?
Mungkin sama atau sudah ada. Dan juga harus baca Peraturan Menteri Agama nomor
167, 207 tahun 2014 tentang Kurikulum PAI dan Bahasa Arab. PMA atau KMA.”
Aku: “Berarti jatunya ke peraturan
Kemenag tentang kurikulum PAI, Bu? Bukan SISDIKNAS.”
Dekan: “Iya, kamu baca dulu ya.
Sudah dibaca belum?”
Aku: “Peraturan-peraturan itu belum,
Bu. Karena baru kepikiran tadi kalau memang harus dikaitkan dengan sekarang,
say abaca dulu, Bu.”
Asal
kalian tahu, ini bukan berarti aku mau meneliti tentang Peraturan itu, tapi
hanya sekadar memberikan alternatif untuk mendukung penelitian pustaka ini. Walaupun
sudah sangat cukup, bahkan sangat-sangat cukup hanya dengan penelaahan kitab Ihya Ulumuddin.
Dekan: “Oke baca dulu.”
Dengan
segera kubuka Google, dan download
Keputusan Menteri Agama yang disebutka tadi. Dan gilaaaa, itu sampai 300an
halaman. Tak apalah, kan hanya cukup baca tentang Mata Pelajaran Akidah-Akhlak.
Sekitar
50 menit, aku kembali balas chat itu.
Aku: “KMA Nomor 165 tentang
Kurikulum PAI dan Bahasa Arab. Akhlak merupakan aspek sikap hidup atau
kepribadian hidup manusia, yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT dan
hubungan manusia dengan manusia lainnya. Akhlak menekankan pada pembiasaan
untuk menerapkan dan menghiasi diri dari akhlak terpuji (mahmudah) dan menjauhi
serta menghindari diri dari akhlak tercela (mazmumah) dalam kehidupan
sehari-hari. Ruang lingkup mata pelajaran akidah-akhlak. Aspek terpuji seperti
ikhlas, tobat, tawakkal, sabar, syukur, berilmu, dll. Aspek akhlak tercela
seperti riya, hasad, putus asa, takabur, dll. Sedangkan konsep dalam
al-Ghazali, ruang lingkup Mata pelajaran
akidah-akhlak dalam peraturan di atas, dibahas oleh Imam al-Ghazali yang
meliputi akhlak kepada Allah, diri sendiri (di sini masuklah sifat-sifat
seperti riya, dengki, yang harus dijauhi untuk membersihkan diri dari
akhlak-akhlak tercela), dan akhlak terhadap orang lain.”
Aku: “Istilah-istilah akhlak seperti
riya, sabar, syukur, hasad, yang pernah say abaca, Bu, itu adalah istilah yang
dimunculkan pertama kali oleh Imam al-Ghazali, dan sampai saat ini masih
digunakan.”
Aku: “Ini, Bu dalam peraturan KMA,
disebutkan pengenalan tasawuf, sedangkan konsep Imam al-Ghazali ada penerapan ma’rifat,
yang jalannya tentu melalui
pengenalan tasawud. Jadi, ada keterkaitan di sini, ada relevansi antara
peraturan KMA dengan konsep al-Ghazali. Jadi bagaimana, Bu? Bu R**** kemarin
sudah tidak ada koreksian lagi dari judul ini, Katanga yang penting jelas ini
studi apa, dan sudah ada keterangan studi analisis kitab Ihya Ulumuddin. Jadi
tinggal konfirmasi ACC judul dari Ibu, baru kemudian dikasi Dosen Pembimbing.”
Dekan:
“Ibu sarankan langsung bimbingan dengan Bu E** ya.”
Hah? Kalaupun aku
mau konsul dengan Dosen, aku pasti akan konsul dengan Dosen yang ngajar akhlak,
karena aku sudah katakan dari awal, aku bukan meneliti tentang Undang-Undang,
tapi meneliti Pemikiran al-Ghazali. Dan tanpa Undang-Undang inipun skripsi ini
tidak akan rancu, tidak akaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaan pincang.
Aku sudah tahu
arahnya akan kemana, jika sampai aku memberanikan diri untuk konsul lagi.
Sudahlah, aku memilih pasrah seketika itu.
Air mataku tiba-tiba saja jatuh, kelelahan, sungguh
ini kelelahan yang amat luar biasa.
Aku: “Tadi saya sudah
katakan, Bu. Penelitian ini sudah cukup hanya dengan dokumentasi, penelahaan
dari sumber-sumber tertulis yang berkaitan dengan ini, Bu. Seperti karya-karya
beliau lainnya di bidang akhlak, karena memang fokus penelitiannya adalah
pemikiran tokoh, bukan tentang peraturan pemerintah atau Kemenag. Arahnya akan
tidak jelas kalau mau ke Ihya dan Peraturan. Olehnya dipersempit lagi, Bu,
Studi analisis kitab Ihya Ulumuddin. Berat ini, Bu. Apalagi langsung ke kitab
klasik yang berbahasa arab. Walaupun ada bantuan terjemahan, tetap saja butuh
ilmu dasar tentang Nahwu dan Shorof untuk pengembalian dhomir, karena diakui
oleh ulama-ulama nahwu, bahwa pengembalian dhomir inilah yang dianggap salah
satu paling rumit dalam kitab kuning. Bahkan dikatakan kalau kalian sudah mampu
menempatkan dhomir, maka kalian sudah jadi ulama nahwu. Begitu, Bu (dengan
emoticon menangis). Kalau dilihat, pasti di setiap angkatan, ada paling banyak
5 orang yang pasti ambil Library Research, dan angkatan ini mungkin Cuma 2
orang, atau 3 orang. Termasuk saya. Supaya penelitian itu bisa bervariasi, ada
Field ada Library. Dan ketertarikan saya di sini, Bu, di pemikiran al-Ghazali
ini, ditambah dengan semakin sering membuka literature-literatur klasik (kitab
kuning), itu melatih juga kaidah-kaidah Nahwu saya yang jarang dipakai selama
ini, yang sebagian sedikitnya sudah hampir terlupa.” Di akhir aku cantumkan
emoticon menangis.
Dekan: “Oke, biar
lancar. Ke bu E** langsung ya, nanti kalau judul oke, langsung ACC.”
Ini akhirku mungkin. Entahlah, tak bisa
berkata-kata lagi. Kubaringkan badan, dengan air mata yang terus saja merembes.
Kenapa tetiba banyak kalimat yang terlupa olehku?
Saat itu juga aku langsung kirim WA ke Kaprodi, bagaimana sekiranya jika aku
wisuda dan lulusnya tahun depan saja. Tapi beliau sedang tidak enak badan. Jadi
belum bisa terlalu banyak mikir, di akhir beliau berpesan supaya aku sabar saja
dulu. Nanti di cari solusinya.
Beberapa teman mungkin bersimpati melihat status
WA-ku yang sangat sangat tidak baik keadaanku. Tapi ada beberapa yang memilih
empati dengan mengomentari status itu.
N**: “Ya, Allah. Fighting. Kita harus wisuda
bareng. Pasti ada jalan, Insya Allah. Semangat terus ya. Coba bicarakan
baik-baik lagi.”
Aku: “Proposal pertama sudah sangat mengguncang
psikologis aku, sekarang ditambah proposal kedua.”
N**: “Ayo bangkit lagi, pasti bisa.”
Aku: “Ini sudah sangat menyentuh wilayah hak kita
untuk berkreasi sesuai kemauaun dan kemampuan. Dan kali ini, aku udah gak bisa
terima itu lagi. Proposal pertama aku ikhlaskan, tapi mungkin beda dengan
proposal kedua ini.”
N**: “Coba aja ke bu E** dulu.”
Aku: “Aku sudah pengalaman, Kak. Kemarin juga
seperti itu. Disuruh ke bu R****. Ujung-ujungnya gak diterima. Dan sekarang
kenapa harus ke sana? Sedangkan banyak persiapan untuk menjawab tetap saja
ditolak, gimana ini. Aku bisa saja ke Bu E**, seandainya fokus penelitianku
adalah Peraturan Menteri Agama, tapi ini tidak. Aku sekadar memberikan opsi.
Bagaimana jika direlevansikan, karena jika fokus ke peraturan, judul awalku
bisa-bisa berubah (dan aku tidak menginginkan itu).”
N**: “Ya Allah. Coba cari judul yang ke lapangan
saja, tempat kamu PPKT sekarang.”
Aku: “Aku bukan kehabisan ide, Kak. Bukan gak punya
ide. Tapi ketertarikan itu memang ada di sini. Kemauan, minat, dan segala
macamnya ada di sini (dan harus kalian tahu, seseorang meneliti adalah salah
satunya adalah dorongan keingintahuan itu).”
N**: “Aku paham banget. Kalau gini caranya,
mahasiswi dituntut gak kreatif dong ya, gak bisa memberikan ide-ide. Hmmmmm.
Coba istikharah dulu. Minta petunjuk, doakan beliau-beliau biar lunak hatinya.
Jangan menyerah dulu, pasti ada jalannya. Insya Allah, semangat ya.”
Aku: “Makasih, ya. Aku cuma bisa nangis terus dari
tadi.”
N**: “Aku merasakan apa yang kamu rasa. Sabar ya.”
Dan saat tulisan ini ditulis, aku rasanya ingin
kembali menangis lagi, hanya saja aku tahan, karena lagi di Sekolah. Gak asik
kalau tiba-tiba aku memutuskan menangis di sini.
Ada satu teman yang juga seperti ini, yang chat
panjang lebar ke aku. Terus menyemangati agar jangan menyerah.
Aku: “Solusinya aku yang menyerah.”
E***: “Ini bukan solusi menurut aku. Menyerah itu
sama kayak putus asa gak sih?”
Aku: “Bukan, Kak. Aku sudah berusaha dan ikhtiar.
Dan cuma sampai di sini aku bisa berusaha. Belum sembuh keadaan batinku yang
kemarin. Sekarang ditambah yang kedua. Dan aku tidak sekuat itu, Kak. Aku
manusia biasa yang akhirnya memilih berhenti dari kelelahan ini.”
Chat-chat itu panjang, tapi
hanya kutulis sepenggal saja. Hanya sekadar kalian tahu, bahwa aku sudah
benar-benar lelah dengan ini, dengan ketidakjelasan ini. Aku hanya minta, apakah ada larangan baku
ketidakbolehan meneliti dengan jenis penelitian Pustaka? Apakah memang hanya
dinilai segampang dan sesimple itu menulis dan menganalisis suatu buku? Tingkat
kerumitan itu pasti ada di setiap penelitian. Tapi lagi-lagi aku tanya, apakah
sama sekali aku tidak punya hak untuk menentukan arah dan judul tulisanku sendiri?
Apakah aku harus dituntut untuk disuapi bahkan dalam masalah memilih judul
sekalipun?
Dan yang akan menulis ini adalah aku. Yang akan
berkutat dengan skripsi ini aku. Apa yang terjadi jika dari awal bahkan judul
tulisanku sendiripun sama sekali tidak kuinginkan, apakah ini tidak akan
berdampak dengan jalanku saat menulis nanti? Apakah kejenuhan itu tidak akan
menghampiri? Bahkan mengerjakan sesuatu yang disukai pun akan ada kejenuha,
bagaimana jika memang hal itu bukan keinginan dari kita? Jika kalian pernah
belajar psikologi, coba pikirkan keadaan psikologi seorang anak yang dipaksa
untuk menjalani sesuatu yang tidak diinginkannya.
Dan lagi-lagi, dengan sekian kali aku katakan,
silahkan menilai sehak kalian. Menilai aku tidak dewasa dan apapun itu. Aku
punya Tuhan, aku punya Allah, yang kutempati untuk mengadu, kutempati untuk
minta petunjuk, dan kutempati untuk berpasrah diri dari usahaku yang (mungkin
saja) cukup sampai di sini.
Aku akhiri tulisan ini dengan kalimat yang hampir
sama dengan tulisan pertama; Kamu akan dikenang selamanya, jika berhasil
membuat seorang penulis terkesan dengan kebaikanmu.