Minggu, 10 Maret 2019

KETIDAKMENGERTIANKU TENTANG SEMUA INI Part 2

Jika kamu pernah terluka karena sesuatu, kamu pasti tahu berapa lama pula waktu yang pernah kamu butuhkan untuk bangkit dari sana. Belum sembuh luka itu, belum kering luka itu, muncul pula luka yang sama, yang membuat luka yang kemarin semakin menganga.
Cerita itu berlanjut. Setelah aku berusaha dengan susah payah untuk bangkit dari keterpurukanku. Dengan segala upaya aku mencoba mengikhlaskan proposal skripsiku yang pertama dengan judul, “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Islami dalam Novel Api Tauhid Karya Habiburrahman El-Shirazy.” Entah jalan apa yang Allah hendak tunjukkan padaku, namun aku harus tetap berbaik sangka pada-Nya.
Proposal skripsi kedua dengan judul, “Konsep Pendidikan Akhlak dalam Perspektif Imam al-Ghazali (Studi Analisis Kitab Ihya Ulumuddin)” kembali kulengkapi bagian-bagian yang masih kosong, karena sebelumnya memang sudah ada yang aku selesaikan sedikit-sedikit. Aku mulai menata hati kembali, mencoba benar-benar mengikhlaskan walau aku sendiri tahu, tidak semudah itu melupakannya.
Sekali lagi, kalian berhak menilai seperti apapun diriku. Tapi aku juga berhak untuk menjelaskan secara detail runtutan kejadian itu. Agar aku tahu, siapa saja yang bersikap objektif, dan sebaliknya.
Hari Jum’at aku kembali memutuskan untuk ke kampus. Terlebih dahulu kutemui Kaprodi, menunjukkan proposal keduaku.
Kaprodi: “Gimana, udah ketemu Dekan?”
Kenapa aku harus ketemu Dekan? Aku tidak menjawab pertanyaan itu.
Aku: “Ini, Bu. Proposal kedua, saya udah bikin.” Beliau memerhatikan sejenak judul proposal itu, dan manggut-manggut.
Kaprodi: “Bagus. Ini kamu teliti dengan kitabnya?”
Aku: “Iya, Bu, beserta kitabnya.”
Kaprodi: “Bagus, kalau kamu bisa meneliti itu. Sekarang kamu ke Dekan dulu, cuma minta ACC judul, nanti Ibu kasi Dosen Pembimbing. Bilang, ini bu saya udah capek-capek bikin proposal.”
Aku: “Iya, Bu.”
Tak bisa kugambarkan perasaanku saat itu, entah kenapa aku terus saja merasa bahwa akan ada kejadian lagi di sini. Tapi pikirku, jika kejadian pertama berulang lagi, aku tidak tahu bagaimana lagi menyebut Dekan itu sebagai apa. Jika kalian menilai aku riya dan segala macamnya karena menyebut-nyebut kebaikan diri sendiri, itu lagi-lagi hak kalian untuk itu. Aku cuma ingin mengatakan aku berkali-kali jatuh sakit hanya karena kepikiran proposal ini terus. Sekitar satu jam aku menunggu.
Pertama-tama aku tunjukkan proposal pertama.
Aku: “Ini kemarin, Bu, yang Ibu minta menghadap ke Kaprodi, tapi beliau bilang saya tidak bisa meneliti ini karena penulisnya masih hidup. Terus beliau juga tanya saya ada proposal kedua? Saya bilang ada. Dan beliau bilang lagi ini bisa kamu teliti karena sudah meninggal (Imam al-Ghazali), kamu buat saja dulu.”
Dekan: “Terus sudah buat?”
Aku: “Sudah, Bu.” Kutunjukkan proposal kedua itu. Aku kira bakal langsung dikomentari dan apalah namanya itu, tapi tidak.
Dekan: “Kamu saya lihat suka nulis ya? Ibu lihat cara berbahasa kamu sudah bagus. Sudah punya berapa novel?”
Aku agak terkejut dengan pertanyaan itu. Loh, ada apa memangnya? Selama ini aku gak pernah memunculkan diri, menampakkan diri ke Dosen-Dosen.
Aku: “Baru satu, Bu.”
Dekan: “Nulis berapa lama itu satu novel?”
Aku: “Gak nyampe 6 bulan, Bu.”
Dekan: “Hebat itu. Sudah punya title penulis. Judul kamu ini sudah bagus, ini sudah ada konsepnya, tinggal bagaimana di lapangan, kaitkan ke lapangan.”
Kenapa lagi-lagi ke lapangan? Ini sudah jelas-jelas penelitian pustaka. Masa iya ada dua jenis penelitian dalam satu skripsi. Ini jadinya ketidakjelasan metodologi.
Aku: “Tapi kan ini meneliti Kitab Ihya, Bu.”
Dekan: “Iya, tetap Ihya, tapi coba kaitkan ke lapangan.”
Jika saja waktu itu aku punya jurus menghilang, ingin rasanya segera kugunakan. Pengen tiba-tiba menghilang mau ke Mars.
Dekan: “Itu kan ada, prinsip tri dharma. Di samping menulis, juga meneliti.”
Beliau menjelaskan agak panjang masalah itu. Dan tidak bisa kutuliskan di sini, karena banyak yang terlupa.
            Dekan: “Ini kan tinggal pindahin saja dari Kitabnya terus masukin skripsi.”
Whattttt? Memangnya seperti itu cara menulis skripsi? Sesimple itu? Ini bukan sekadar makalah untuk presentasi dalam kelas, tapi karya ilmiah yang dipertanggungjawabkan keasliannya, bahkan bisa jadi dinilai plagiat jika dalam tulisan itu terlalu banyak dicantumkan catatan kaki tanpa ada analisis dari penulis sendiri. Jujur, aku benar-benar tidak mengerti ini.
Dan entah kenapa aku merasa beliau terlalu memujiku waktu itu, terutama masalah penulis itu.
Dekan: “Sudah penulis, peneliti, kamu ambil program berapa juz di sini?”
Aku: “*0 juz, Bu.”
Dekan: “Ngafalinnya berapa lama?”
Aku: “Selama di sini, Bu.”
Dekan: “Nah itu, tinggal *0 juz lagi, selesai. Sudah penulis, peneliti, hafizah lagi. Begini nih sebenarnya yang Ibu cari. Kamu dapat beasiswa?”
Aku: “Gak, Bu.”
Dekan: “Gak deket-deket Ibu sih. Kemana aja? Coba deket Ibu pasti kamu dapat tuh.”
Selama di MTs, dan di MA, jujur aku paling malas dengan santri yang suka cari muka depan guru. Bukan berarti tidak menghormati guru ya, tolong dibedakan. Istilah sekarangnya caper sama guru. Dan itu yang aku lakukan sampai di bangku kuliah. Aku tidak suka terkenal dan segala macam istilahnya itu. Apalagi menonjolkan diri sendiri, dan kemampuan ke yang lain. NO. Itu sekali lagi bukan diriku. Jikalaupun ada yang menilai aku pintar, cerdas, dan apalah pokoknya, ya biarkan mereka sendiri yang menilai, yang intinya adalah bukan aku yang menjelaskan itu. Kalian tentu tahu satu ungkapan ini, Langit tidak perlu menjelaskan bahwa dirinya tinggi.
Aku tidak bisa banyak berkutik waktu itu, dikarenakan ini proposal baru yang kutulis, belum banyak membaca juga tentang itu. Jadinya aku tidak bisa berkata banyak. Aku mengakhiri pertemuan itu denga perasaan kacau kembali. Sepanjang jalan pulang ke kostan aku terus saja memutar otak. Bagaimana caranya ini?
Aku putuskan untuk membaca lagi terlebih dahulu. Baik itu skripsi, jurnal, ataupun tesis yang meneliti tentang pemikiran al-Ghazali. Aku mulai berpikir, mungkin penelitian ini bisa dikaitkan dengan lapangan, dengan cara merelevansikan konsep akhlak al-Ghazali ini di Pesantren. Hanya sekadar menunjukkan bahwa konsep ini masih dipakai hingga saat ini. Atau alternatif lainnya mungkin dengan peraturan perundang-undangan.
Sore hingga malam, aku terus saja membaca. Dan beberapa kesimpulan sudah ada di tanganku.
Tibalah esoknya aku mulai percakapan lagi lewat WA.
Aku: “Assalamualaikum. Ibu saya N****. Kalau konsul ke Ibu di WA, boleh gak bu?”
Dekan: “Boleh.”
Aku: “Ibu. Judul saya kan ini, (sambil kufotokan cover proposal), kata Ibu kemarin, dikaitkan ke lapangan. Ini kan penelitian pustaka ya bu, Library Research. Jadi, kalaupun mau dikaitkan di lapangan, mungkin opsi lainnya ada di teknik pengumpulan data, yaitu dokumentasi dan wawancara. Tapi masalahnya lagi, Bu, penelitian ini adalah penelitian pemikiran tokoh/studi tokoh, dalam kaidah Metodologi Penelitian kalau penelitian itu adalah penelitian studi tokoh, maka teknik pengumpulan datanya hanya bisa dilakukan dengan cara dokumentasi, tidak boleh ada wawancara ataupun observasi, dikarenakan pemikiran tokoh yang diteliti sudah meninggal. Boleh saja wawancara, tetapi tokoh itu harus masih hidup. Jadi, saya mengambil inisiatif lain, Bu. Mungkin saja kalau misalnya konsep Imam al-Ghazali ini dikaitkan dengan Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, SISDIKNAS. Bagaimana, Bu.”
Jika kalian ingat, isi perbincangan aku dengan Kaprodi, yang mengatakan kalau aku tidak boleh meneliti Novel Api Tauhid karena Kang Abik masih hidup. Aku rasa jawabannya di sini. Tapi kesimpulanku tetap sama, penelitian Novel kemarin adalah bukan studi tokoh, bukan meneliti pemikiran tokoh, tapi aku meneliti Nilai-Nilai atau Pesan-Pesan akhlak dalam Novel itu. Silahkan berkesimpulan sendiri.
            Dekan: “Jadi kalimatnya gimana?”
            Aku: “Kalau misalnya dimasukkan ke dalam judul mungkin bunyinya seperti ini, Bu Konsep Pendidikan Akhlak dalam Perspektif Imam al-Ghazali dan Relevasinya terhadap Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia (Studi Analisis Kiyab Ihya Ulumuddin). Tapi kalau menurut saya, Bu, jika judulnya seperti ini, mungkin agak terlalu bagaimana ya, Bu, bisa membuyarkan fokus penelitian awal yang ingin meneliti pemikiran Imam al-Ghazali tentang Konsep Pendidikan Akhlak. Karena fokus penelitiannya adalah kitab Ihya Ulumuddin, dan tidak sesederhana mungkin dengan yang Ibu maksud, (sambil kumasukkan emoticon tersenyum) tidak hanya sekadar kitab ini saja, tapi kitab Ihya ini adalah sumber primer (utama), sumber sekunder lainnya ada kitab-kitab beliau tentang akhlak juga, seperti Minhajul Abidin, Ayyuhal Walad, dll. Jadi saya ambil opsi lain, cukup menjadi sub bab di bab 4 tentang pengkaitan dengan SISDIKNAS.”
Kukira beliau yang akan menjawab itu, ternyata beliau lemparkan ke Dosen lain, yang dominannya mengerti tentang peraturan perundang-undangan.
          Dekan: “Ini lagi-lagi harus dihubungkan ke standar isi Mata Pelajaran Akhlak. Konsep Akhlaknya Gozali apa? Mungkin sama atau sudah ada. Dan juga harus baca Peraturan Menteri Agama nomor 167, 207 tahun 2014 tentang Kurikulum PAI dan Bahasa Arab. PMA atau KMA.”
            Aku: “Berarti jatunya ke peraturan Kemenag tentang kurikulum PAI, Bu? Bukan SISDIKNAS.”
            Dekan: “Iya, kamu baca dulu ya. Sudah dibaca belum?”
            Aku: “Peraturan-peraturan itu belum, Bu. Karena baru kepikiran tadi kalau memang harus dikaitkan dengan sekarang, say abaca dulu, Bu.”
Asal kalian tahu, ini bukan berarti aku mau meneliti tentang Peraturan itu, tapi hanya sekadar memberikan alternatif untuk mendukung penelitian pustaka ini. Walaupun sudah sangat cukup, bahkan sangat-sangat cukup hanya dengan penelaahan kitab Ihya Ulumuddin.
            Dekan: “Oke baca dulu.”
Dengan segera kubuka Google, dan download Keputusan Menteri Agama yang disebutka tadi. Dan gilaaaa, itu sampai 300an halaman. Tak apalah, kan hanya cukup baca tentang Mata Pelajaran Akidah-Akhlak.
Sekitar 50 menit, aku kembali balas chat itu.
            Aku: “KMA Nomor 165 tentang Kurikulum PAI dan Bahasa Arab. Akhlak merupakan aspek sikap hidup atau kepribadian hidup manusia, yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT dan hubungan manusia dengan manusia lainnya. Akhlak menekankan pada pembiasaan untuk menerapkan dan menghiasi diri dari akhlak terpuji (mahmudah) dan menjauhi serta menghindari diri dari akhlak tercela (mazmumah) dalam kehidupan sehari-hari. Ruang lingkup mata pelajaran akidah-akhlak. Aspek terpuji seperti ikhlas, tobat, tawakkal, sabar, syukur, berilmu, dll. Aspek akhlak tercela seperti riya, hasad, putus asa, takabur, dll. Sedangkan konsep dalam al-Ghazali, ruang lingkup  Mata pelajaran akidah-akhlak dalam peraturan di atas, dibahas oleh Imam al-Ghazali yang meliputi akhlak kepada Allah, diri sendiri (di sini masuklah sifat-sifat seperti riya, dengki, yang harus dijauhi untuk membersihkan diri dari akhlak-akhlak tercela), dan akhlak terhadap orang lain.”
            Aku: “Istilah-istilah akhlak seperti riya, sabar, syukur, hasad, yang pernah say abaca, Bu, itu adalah istilah yang dimunculkan pertama kali oleh Imam al-Ghazali, dan sampai saat ini masih digunakan.”
            Aku: “Ini, Bu dalam peraturan KMA, disebutkan pengenalan tasawuf, sedangkan konsep Imam al-Ghazali ada penerapan ma’rifat, yang jalannya tentu melalui pengenalan tasawud. Jadi, ada keterkaitan di sini, ada relevansi antara peraturan KMA dengan konsep al-Ghazali. Jadi bagaimana, Bu? Bu R**** kemarin sudah tidak ada koreksian lagi dari judul ini, Katanga yang penting jelas ini studi apa, dan sudah ada keterangan studi analisis kitab Ihya Ulumuddin. Jadi tinggal konfirmasi ACC judul dari Ibu, baru kemudian dikasi Dosen Pembimbing.”
            Dekan: “Ibu sarankan langsung bimbingan dengan Bu E** ya.”
Hah? Kalaupun aku mau konsul dengan Dosen, aku pasti akan konsul dengan Dosen yang ngajar akhlak, karena aku sudah katakan dari awal, aku bukan meneliti tentang Undang-Undang, tapi meneliti Pemikiran al-Ghazali. Dan tanpa Undang-Undang inipun skripsi ini tidak akan rancu, tidak akaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaan pincang.
Aku sudah tahu arahnya akan kemana, jika sampai aku memberanikan diri untuk konsul lagi. Sudahlah, aku memilih pasrah seketika itu.
Air mataku tiba-tiba saja jatuh, kelelahan, sungguh ini kelelahan yang amat luar biasa.
            Aku: “Tadi saya sudah katakan, Bu. Penelitian ini sudah cukup hanya dengan dokumentasi, penelahaan dari sumber-sumber tertulis yang berkaitan dengan ini, Bu. Seperti karya-karya beliau lainnya di bidang akhlak, karena memang fokus penelitiannya adalah pemikiran tokoh, bukan tentang peraturan pemerintah atau Kemenag. Arahnya akan tidak jelas kalau mau ke Ihya dan Peraturan. Olehnya dipersempit lagi, Bu, Studi analisis kitab Ihya Ulumuddin. Berat ini, Bu. Apalagi langsung ke kitab klasik yang berbahasa arab. Walaupun ada bantuan terjemahan, tetap saja butuh ilmu dasar tentang Nahwu dan Shorof untuk pengembalian dhomir, karena diakui oleh ulama-ulama nahwu, bahwa pengembalian dhomir inilah yang dianggap salah satu paling rumit dalam kitab kuning. Bahkan dikatakan kalau kalian sudah mampu menempatkan dhomir, maka kalian sudah jadi ulama nahwu. Begitu, Bu (dengan emoticon menangis). Kalau dilihat, pasti di setiap angkatan, ada paling banyak 5 orang yang pasti ambil Library Research, dan angkatan ini mungkin Cuma 2 orang, atau 3 orang. Termasuk saya. Supaya penelitian itu bisa bervariasi, ada Field ada Library. Dan ketertarikan saya di sini, Bu, di pemikiran al-Ghazali ini, ditambah dengan semakin sering membuka literature-literatur klasik (kitab kuning), itu melatih juga kaidah-kaidah Nahwu saya yang jarang dipakai selama ini, yang sebagian sedikitnya sudah hampir terlupa.” Di akhir aku cantumkan emoticon menangis.
            Dekan: “Oke, biar lancar. Ke bu E** langsung ya, nanti kalau judul oke, langsung ACC.”
Ini akhirku mungkin. Entahlah, tak bisa berkata-kata lagi. Kubaringkan badan, dengan air mata yang terus saja merembes.
Kenapa tetiba banyak kalimat yang terlupa olehku? Saat itu juga aku langsung kirim WA ke Kaprodi, bagaimana sekiranya jika aku wisuda dan lulusnya tahun depan saja. Tapi beliau sedang tidak enak badan. Jadi belum bisa terlalu banyak mikir, di akhir beliau berpesan supaya aku sabar saja dulu. Nanti di cari solusinya.
Beberapa teman mungkin bersimpati melihat status WA-ku yang sangat sangat tidak baik keadaanku. Tapi ada beberapa yang memilih empati dengan mengomentari status itu.
N**: “Ya, Allah. Fighting. Kita harus wisuda bareng. Pasti ada jalan, Insya Allah. Semangat terus ya. Coba bicarakan baik-baik lagi.”
Aku: “Proposal pertama sudah sangat mengguncang psikologis aku, sekarang ditambah proposal kedua.”
N**: “Ayo bangkit lagi, pasti bisa.”
Aku: “Ini sudah sangat menyentuh wilayah hak kita untuk berkreasi sesuai kemauaun dan kemampuan. Dan kali ini, aku udah gak bisa terima itu lagi. Proposal pertama aku ikhlaskan, tapi mungkin beda dengan proposal kedua ini.”
N**: “Coba aja ke bu E** dulu.”
Aku: “Aku sudah pengalaman, Kak. Kemarin juga seperti itu. Disuruh ke bu R****. Ujung-ujungnya gak diterima. Dan sekarang kenapa harus ke sana? Sedangkan banyak persiapan untuk menjawab tetap saja ditolak, gimana ini. Aku bisa saja ke Bu E**, seandainya fokus penelitianku adalah Peraturan Menteri Agama, tapi ini tidak. Aku sekadar memberikan opsi. Bagaimana jika direlevansikan, karena jika fokus ke peraturan, judul awalku bisa-bisa berubah (dan aku tidak menginginkan itu).”
N**: “Ya Allah. Coba cari judul yang ke lapangan saja, tempat kamu PPKT sekarang.”
Aku: “Aku bukan kehabisan ide, Kak. Bukan gak punya ide. Tapi ketertarikan itu memang ada di sini. Kemauan, minat, dan segala macamnya ada di sini (dan harus kalian tahu, seseorang meneliti adalah salah satunya adalah dorongan keingintahuan itu).”
N**: “Aku paham banget. Kalau gini caranya, mahasiswi dituntut gak kreatif dong ya, gak bisa memberikan ide-ide. Hmmmmm. Coba istikharah dulu. Minta petunjuk, doakan beliau-beliau biar lunak hatinya. Jangan menyerah dulu, pasti ada jalannya. Insya Allah, semangat ya.”
Aku: “Makasih, ya. Aku cuma bisa nangis terus dari tadi.”
N**: “Aku merasakan apa yang kamu rasa. Sabar ya.”
Dan saat tulisan ini ditulis, aku rasanya ingin kembali menangis lagi, hanya saja aku tahan, karena lagi di Sekolah. Gak asik kalau tiba-tiba aku memutuskan menangis di sini.
Ada satu teman yang juga seperti ini, yang chat panjang lebar ke aku. Terus menyemangati agar jangan menyerah.
Aku: “Solusinya aku yang menyerah.”
E***: “Ini bukan solusi menurut aku. Menyerah itu sama kayak putus asa gak sih?”
Aku: “Bukan, Kak. Aku sudah berusaha dan ikhtiar. Dan cuma sampai di sini aku bisa berusaha. Belum sembuh keadaan batinku yang kemarin. Sekarang ditambah yang kedua. Dan aku tidak sekuat itu, Kak. Aku manusia biasa yang akhirnya memilih berhenti dari kelelahan ini.”
Chat-chat itu panjang, tapi hanya kutulis sepenggal saja. Hanya sekadar kalian tahu, bahwa aku sudah benar-benar lelah dengan ini, dengan ketidakjelasan ini.  Aku hanya minta, apakah ada larangan baku ketidakbolehan meneliti dengan jenis penelitian Pustaka? Apakah memang hanya dinilai segampang dan sesimple itu menulis dan menganalisis suatu buku? Tingkat kerumitan itu pasti ada di setiap penelitian. Tapi lagi-lagi aku tanya, apakah sama sekali aku tidak punya hak untuk menentukan arah dan judul tulisanku sendiri? Apakah aku harus dituntut untuk disuapi bahkan dalam masalah memilih judul sekalipun?
Dan yang akan menulis ini adalah aku. Yang akan berkutat dengan skripsi ini aku. Apa yang terjadi jika dari awal bahkan judul tulisanku sendiripun sama sekali tidak kuinginkan, apakah ini tidak akan berdampak dengan jalanku saat menulis nanti? Apakah kejenuhan itu tidak akan menghampiri? Bahkan mengerjakan sesuatu yang disukai pun akan ada kejenuha, bagaimana jika memang hal itu bukan keinginan dari kita? Jika kalian pernah belajar psikologi, coba pikirkan keadaan psikologi seorang anak yang dipaksa untuk menjalani sesuatu yang tidak diinginkannya.
Dan lagi-lagi, dengan sekian kali aku katakan, silahkan menilai sehak kalian. Menilai aku tidak dewasa dan apapun itu. Aku punya Tuhan, aku punya Allah, yang kutempati untuk mengadu, kutempati untuk minta petunjuk, dan kutempati untuk berpasrah diri dari usahaku yang (mungkin saja) cukup sampai di sini.
Aku akhiri tulisan ini dengan kalimat yang hampir sama dengan tulisan pertama; Kamu akan dikenang selamanya, jika berhasil membuat seorang penulis terkesan dengan kebaikanmu.

Jumat, 01 Maret 2019

KETIDAKMENGERTIANKU TENTANG SEMUA INI


Sampai saat ini, aku belum juga mengerti letak kesalahan skripsiku di mana. Skripsi dengan judul, “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Islami dalam Novel Api Tauhid Karya Habiburrahman El-Shirazy” sudah beberapa kali ditolak. Dan paling menyedihkannya lagi adalah skripsi itu sudah diobrak abrik oleh dosen penguji dalam bentuk proposal, sudah beberapa kali revisi, dan diluluskan, sebelum akhirnya dikirim lewat WA ke Dekan untuk minta ACC. Jika kalian bertanya untuk apa Dekan campur tangan di sini, silahkan pikir sendiri. Tibalah saya memulai chat WA, mengirim bukti lulus ujian dan cover skripsi.
Saya: “Assalamualaikum. Saya N**** yang ujian proposal di Bu L***. Kemarin diminta persempit judul karena lingkup Pendidikan Islam terlalu luas dan terlalu banyak pembahasan, jadi diminta revisi sama Bu L*** jadinya Pendidikan Akhlak.”
        Begitulah bunyi kalimatku untuk memulai percakapan. Jawabannya cukup singkat, dan itu membuatku rapuh dengan seketika.
       Dekan: “Kelapangannya gak ada ya? Coba cari bahan penelitian lain.”
          Saya: “Gak, Bu. Saya tertarik untuk meneliti ini, dikarenakan banyaknya bacaan bacaan yang sekrang ini hanya mengedepankan alur cerita tanpa penyisipan nilai-nilai pendidikan, utamanya akhlak di dalamnya, karena berbobotnya suatu karya sastra adalah tergantung bagaimana penyisipan nilai-nilai Islam di dalamnya, dan salah satu karya sastra yang sangat banyak ibrah di dalamnya adalah novel ini. Jadi, ini bukan sekadar novel kosong. Bahkan penulisnya sendiri meneliti dari tahun 1997 sampai tahun 2012 demi untuk mendapatkan fakta-fakta yang sesuai dengan yang sebenarnya. Bahkan pula penulisnya berkeliling Turki (22 Juni 2012 – 1 Juli 2012) untuk mendatangi tempat tokoh ulama yang ada dalam cerita novel ini.”
      Dan lagi-lagi jawabannya singkat, dan tentu saja menjadi tanda tanya besar, tidak serta merta bisa diterima dengan akal sehatku.
      Dekan: “Coba konsul dulu dengan Bu R****. Pertimbangkan karena novel lebih cocok untuk jurusan Sastra.”
       Saya: “Ada beberapa skripsi yang saya dapat, dan juga meneliti novel Api Tauhid ini, tapi jurusan Sastra itu bukan meneliti Nilai-Nilai Pendidikan Islam/Akhlaknya, tapi mereka meneliti dari segi gaya bahasa dan semacamnya. Ada juga yang meneliti dari jurusan Dakwah, dia meneliti segi pesan Dakwahnya. Dikarenakan saya jurusan Pendidikan (Tarbiyah) jadi penelitiannya difokuskan ke pendidikan juga, utamanya akhlak. Banyak, Bu yang meneliti ini, bahkan ada yang sampai menjadikannya sebagai Tesis. Banyak nilai pendidikan islam yang bisa diteliti dalam novel ini, karena suatu karya biasanya terpengaruh dari latar belakang pendidikan penulisnya. Sedangkan penulisnya adalah alumni Al-Azhar, yang notabenenya mengerti tentang syariat Islam.”
       Dekan: “Coba fotoin semua, kirim ke Ibu, yang ada catatan dosen penguji.”
     Akhirnya, aku kirimkan semua foto lembaran-lembaran yang terdapat catatan dari dosen penguji, dan aku jelaskan sebagaimana di awal. Bahwa judul ini dipersempit menjadi pendidikan Akhlak, olehnya beberapa kalimat yang masih ada Pendidikan Islamnya diganti dengan akhlak, termasuk outline yang jadinya masuk ke kajian Teori bab 2 adalah pembahasan tentang akhlak islami.
            Dekan: “Oke saya tampung dulu. Nanti Ibu bahas dulu dengan tim. Besok menghadap Kaprodi (Bu R****), sudah saya bilang.”
            Dekan: “Baik, Bu.”
          Aku mengakhiri percapakan itu. Di satu sisi ada perasaan legah, mungkin saja semua argumenku diterima dan mau dipertimbangkan karena tidak ada lagi sanggahan. Tapi di sisi lain perasaan cemas untuk menghadapi hari esok menjadi bayang-bayang pula. Kecemasan bahwasanya bisa saja Dekan meminta Kaprodi untuk tidak meluluskan judulku. Yah itu bisa saja terjadi. Apakah ini bagian dari prasangka buruk? Entahlah, pikiran itu muncul tiba-tiba.
     Segala macam pertanyaan masih terus muncul, Ada apa aku diminta menghadap ke Kaprodi? Dalam arti ke bawahannya. Okelah, tidak masalah. Jikalaupun harus mengulang perbincangan yang lewat WA semalam, aku sudah siap dengan segala jawabanku.
       Jam 2 siang, aku ke kampus menghadap Kaprodi, mengeluarkan proposal skripsi yang sebelum dan sesudah revisi. Tampaknya beliau sudah mengerti dan paham, masalahku di mana menghadap beliau. Yah bisa saja seperti yang kukatakan tadi, sudah dapat WA dari Dekan untuk tetap tidak meluluskan saya.
            Kaprodi: “Mohon maaf kami tidak lagi mengarahkan mahasiswa untuk Penelitian Kepustakaan, kami lebih mengarahkan kalian untuk pengalaman di lapangan, karena pada akhirnya kalian akan jadi guru nanti.”
            Aku diam, tidak menjawab. Bukan berarti aku menerima alasan itu. Itu bukan suatu alasan untuk dijadikan bahan penolakan dari judul ini. Sebagai orang pendidikan seharusnya mengerti setiap perbedaan yang ada pada anak didik, terutama perbedaan kemauan dan segala macam perbedaan lain.
            Kaprodi: “Kamu tidak bisa meneliti ini, karena penulisnya masih hidup. Kamu bisa datang langsung ke Habiburrahman untuk wawancara? Tidak, kan?”
            Saya: “Penelitian saya adalah penelitian kepustakaan, Bu.”
Kaprodi: “Iya, tapi tetap harus ada wawancara.”
Saya: “Gak, Bu. Banyak skripsi-skripsi yang tidak melakukan wawancara.”
Kaprodi: “Dari judul saja kamu sudah salah, di sini tidak perlu ada tambahan islami, akhlak yah islami dari Islam.”
Saya: “Di buku Akhlak Tasawuf ada bab sendirinya, Bu. Di situ memang tertulis akhlak islami.”
Buku Akhlak Tasawuf, karya Abuddin Nata. Kalau saja ingin kusebut.
Perbincangan ini berlangsung agak lama, hanya membahas penelitian kepustakaan. Dan akhirnya kembali lagi, bahwa tidak bisa melakukan penelitian kalau penulisnya masih hidup.
Saya: “Jika memang penulisnya harus meninggal dulu, tidak mungkin Universitas-Universitas luar membolehkan mahasiswanya untuk meneliti ini (Sekelas UIN Malang, UIN Jogja, bahkan UIN tetangga ‘UIN Jakarta’ aja meneliti ini, kalimat ini tidak kukeluarkan, hanya dalam hati saja. Jika memang beliau mau teliti, seharusnya saat itu juga langsung searching di Google tentang skripsi yang sama dengan judul saya.)”
Beliau tidak menjawab sanggahan itu, dan dari situ suatu kesimpulan dapat aku ambil, bahwa tidak ada aturan baku jika ingin meneliti suatu Novel maka penulisnya harus meninggal dulu. Dan demi Allah demi Tuhanku dan Tuhan Seluruh Alam, ini baru pertama kali aku mendengar dan mendapatkan informasi ini.
Akhirnya kembali lagi, meskipun penelitian kepustakaan harus ada wawancara. Yah, aku masih belum bisa menerima itu.
Saya: “Gak, Bu. Ada yang tanpa wawancara.”
Kaprodi: “Mana?”
Saya: “Itu, Bu. Di bagian Tinjauan Pustaka, semuanya tidak ada wawancara.” Sambil kutunjukkan dalam proposal Skripsi.
Beliau terlihat memerhatikan Tinjaun Pustaka itu, beberapa detik diam.
Kaprodi: “Kenapa kamu mau mengambil judul ini? atas dasar masalah apa?
Saya: “Melihat bacaan sekarang banyak yang hanya mengedepankan alur cerita, tanpa ada penyisipan nilai-nilai pendidikan di dalamnya.”
Kaprodi: “Darimana kamu mendapatkan data itu? Dari pendapat sendiri?”
Saya: “Dari Jurnal, Bu.”
Dengan siapa kamu berbicara dan berhadapan, akan sangat mudah membaca raut wajah seseorang tentang kebingungannya lagi untuk menyampaikan apa. Beliau menjelaskan sesuatu, tapi aku benar-benar tidak mengerti itu, olehnya tidak aku cantumkan dalam percakapan ini. Tapi tetap pada intinya, tidak juga bisa kuterima sebagai alasan penolakan.
Kaprodi: “Nah, kamu harus meneliti ke siswa-siswa, yang tertarik dengan novel ini, pengaruhnya seperti apa. Jangan hanya berasumsi sendiri bahwa novel ini bagus dan ini itu.”
Saya: “Gak mungkin, Bu bisa jadi Best Seller kalau misalnya peminatnya sedikit.”
Kaprodi: “Iya saya tahu.”
Tapi, Bu? Pertanyaan ini cukup hatiku dan pembaca yang tanyakan.
Kaprodi: Kemarin ada tuh yang penelitian pustaka juga, tapi dia bisa meneliti itu, karena sudah meninggal, Imam al-Ghazali.
Jika pada saat itu aku ingin menjatuhkan Dosen mungkin aku akan lakukan. Percakapan sebelumnya, percakapan awal bahwasanya tidak membolehkan lagi melakukan penelitian kepustakaan dijawab sendiri dan diingkari sendiri di sini. Pemikiran al-Ghazali adalah penelitian kepustakaan. Jadi permasalahan dari judulku ini apa?
Sempat dijawab bahwa penelitian novel ini bukan masuk ke dalam penelitian kepustakaan. Lalu, dosen pembimbing dan penguji dari UIN Malang, UIN Lampung, UIN Jakarta, UIN Jogjakarta, semuanya tidak paham dan keliru karena telah meluluskan ujian Skripsi mahasiswanya yang meneliti novel ini dengan jenis penelitian kepustakaan?
Lagi-lagi, andai saja aku tidak punya belas-kasih, mungkin akan kulemparkan pernyataan itu.
Di sisi lain ada perasaan bahagia dan senang. Mendengar penelitian tentang Imam al-Ghazali diterima. Berhubung proposal kedua yang kusiapkan adalah meneliti tentang Konsep Pendidikan Akhlak dalam Perspektif Imam al-Ghazali studi analisis kitab Ihya’ Ulumuddin.
Tapi tetap saja, aku masih butuh suatu alasan masuk akal untuk penolakan ini.
Saya: “Kalau meneliti Imam al-Ghazali boleh, Bu?”
Kaprodi: “Boleh, karena Imam al-Ghazali sudah meninggal.”
Yaelah, masa harus alasan itu lagi untuk pembolehan dan penolakan. Aturan baku darimanaaaaaaaaaaaaaa? Teriakku dalam hati.
Kaprodi: “Kamu ada judul lain gak?”
Saya: “Ada, Bu.”
Kaprodi: “Judulnya apa?”
Saya: “Sama dengan yang tadi, Imam al-Ghazali.”
Kaprodi: “Coba mana saya lihat.”
Aku buka ponselku, kebetulan ada fotonya, beserta outlinenya. Dan kuserahkan ke beliau.
Kaprodi: “Ini bisa, karena ada kalimat studi analisis. Dan orangnya sudah meninggal.”
Kutunjukkan lagi outlinenya. Beliau terlihat manut-manut, dan menyetujui semua yang ingin kutulis di proposal itu. Sambil tetap meminta aku tunjukkan Tesis dengan judul serupa dan jenis penelitian kepustakaan yang tanpa ada wawancara. Aku menyanggupi untuk membawa Tesis itu di lain waktu. Tapi tetap saja, dengan kalimat yang menunjukkan bahwa Skripsi novel ini tidak bisa dilanjutkan walaupun tidak dengan bahasa langsung.
Siapapun berhak untuk menghakimi diriku sebagai mahasiswa kepala batu atau selainnya. Tapi bersikap bijaklah dalam menyikapi. Sangat beralasan aku menyampaikan pendapat, dan itu adalah hakku sebagai warga negara Indonesia yang punya hak bersuara.
Ini bukan suatu pencemaran nama baik, karena suatu tulisan akan dinilai melanggar jika di dalamnya mengandung adu domba, konflik, SARA, dan sejenisnya. Ini hanya segelintir kecil perwakilan suara yang mempunyai nasib sama denganku, dengan segala upaya aku coba mendamaikan hati dan pikiranku untuk menerima semua ini, tapi tetap saja, bahkan aku tidak tahu kapan aku bisa melupakan ini. Jadi, tolong jangan bersikap subjektif dalam menghakimi seseorang.
Aku akhiri cerita ini dengan kalimat yang sudah sangat familiar; jangan coba-coba menyakiti seorang penulis jika kamu tidak ingin abadi dalam karyanya.

Jumat, 01 Juni 2018

Menangislah

Kiamat memang belum tiba, tapi dunia seperti telah runtuh saat itu juga. Saat di mana kamu berada jauh dari orang tua, dan tidak ada seorang teman pun yang bisa mengerti keterpurukanmu. Aku bisa katakan dunia akan runtuh saat itu juga. 

https://www.wattpad.com/story/121345369-menangis-dalam-kesendirianku

Jika hal ini terjadi, menangislah! Tak sedikit orang yang akan menemukan ketenangan di balik air mata yang terus jatuh. Berpikiran positif memang suatu hal yang baik, namun kadangkala kamu harus memaksakan diri untuk berpikiran negatif ke orang-orang yang menurutmu selama ini selalu ada buatmu. Kadang kamu hanya perlu sedikit tegas, "Kamu belum mendapati orang-orang yang benar-benar ikhlas membantu, mereka akan lepas tangan saat mereka merasa kamu akan jauh lebih baik dari mereka jika saja mereka tetap membantumu." Bukan melatihmu untuk berpikiran negatif terus, tapi hanya sekadar mengantisipasi agar harapan yang kamu gantungan ke mereka tidak begitu sakit jika ternyata hal itu memang terjadi. 

Jika hal ini terjadi, menangislah! Tak masalah menganggap dunia runtuh. Kadangkala justru kesendirianlah yang bisa mengajarkan banyak hal. Terutama untuk menguatkan diri sendiri agar tetap kokoh melangkahkan kaki ke mana pun dan di mana pun kamu berpijak. Air mata bukan hanya untuk simbol kelemahan, tapi juga simbol bagi mereka yang memutuskan untuk kuat.

Jika hal ini terjadi, menangislah! Itu artinya kebersamaan yang kamu jalin selama ini ternyata tidak bermuara kepada kehangatan yang diimpikan, tapi justru mencari keuntungan di balik celah yang menipu. Tak masalah, kamu hanya perlu sedikit lebih tegas lagi, "Teman yang sesungguhnya bukan hanya yang menemani saat suka dan duka, tapi mereka yang juga ikut merasa bahagia dan beruntung jika kamu bahagia." Jika masih ada perasaan iri melihatmu mendapatkan hal yang mereka juga inginkan, maaf sekali lagi. Itu belum bisa kamu sebut teman.

Jika hal ini terjadi, menangislah! Berdamai dengan sepi harus kamu lakukan. Bukan ingin menjauh dari dunia sosial, tapi hanya sekadar mengistirahatkan hati dari kejamnya menjalin hubungan. Ini resiko. Dan kamu sendirilah yang harus menyelesaikannya. 



Menangislah! 

Jumat, 20 April 2018

Aku Menyadari


Kamu penuh keistimewaan, karena itulah aku memilih untuk sengaja melewatkan setiap hal yang berkaitan denganmu. Tulisan-tulisanmu yang aku akui memang membuatku kagum. Aku menyadari itu. Jika bukan karena aku yang terlalu takut untuk menghadapi jika memanjakan keinginan ini, aku bisa saja terus menjalaninya. Tapi aku yang takut. Dan aku mungkin hanya salah satu pengagum tersembunyi dari sekian banyak pengagummu. Jika mereka sanggup mengabadikan  itu, maka lain halnya dengan aku. Aku memilih lebih bersembunyi lagi, dengan harap cemas besok tak akan bertemu lagi hal-hal kecil dari bagian keistimewaan yang banyak dipuja itu.

Aku memilih untuk menjadi munafik, termasuk dalam hal mengagumimu. Aku mungkin saja berkata tak ada apa-apa yang istimewa, bahkan menjadi hal yang menyebalkan jika hal itu terjadi. Dan ternyata pada hakikatnya, hatiku akan pasti mengingkari semua yang keluar dari mulutku sendiri. Dan aku sekali lagi menyadari itu. Kamu akan selalu seperti itu -aku berharap, semoga- menjadi penyenang setiap hati, tapi tidak dengan hatiku, karena aku memilih untuk melewatinya daripada harus menyaksikannya.

20 April 2018

Selasa, 06 Februari 2018

Luka dengan Luka

Saat kata ''menunggu" mulai tak memihak, aku perlahan pasrah pada keadaan yang ada. Apa yang pernah terbesit dalam hati, bahkan terlisankan oleh lidah perlahan meninggalkan tempat awalnya.
Aku pernah mengatakan pada diri sendiri ingin bertahan dan ingin bersamamu, tapi ketidakpedulianmulah yang pada akhirnya menenggelamkannya.
Kini, ikrar itu pun tergantikan. Dan aku yang harus kembali menyembuhkan lukaku dengan cara luka, dengan cara melenyapkanmu dari sisa-sisa harapanku. 

Tentang Cahaya Itu

Bismillah. Ucapku lirih dalam hati. Beberapa menit lamanya kupandangi layar komputer. Pikiranku masih mengembara ke atas sana. Berusaha memilih satu kata yang pas. Satu kata yang menjadi penentu deretan kata selanjutnya yang akan aku tulis. Sulit menemukannya. Bukan karena aku tak punya ide yang akan kutuangkan, terlebih aku merasa tak pantas untuk menggambarkan satu sosok yang berani aku katakan, “Cahaya.”

Berdebar dada tatkala mulai mengetik huruf awal dari tulisan ini. Aku kembali mengumpulkan kotak-kotak kenangan yang aku punya tentangnya. Aku beranjak dari dudukku. Mengambil HP dan langsung masuk ke galeri. Aku sedang mencari. Dan akhirnya aku menemukannya. Sebuah foto beliau sedang berdiri di atas mimbar menyampaikan pidato selaku pimpinan pesantren. Aku masih ingat hari itu adalah hari aku menjadi salah satu peserta wisuda di tingkatan Madrasah Tsanawiyah Tahun 2011. Tak ada yang tahu, ternyata di hari itulah menjadi hari permohonan maaf yang tulus di akhir hayat beliau.



Saat paragraf ini ditulis, aku kembali terbayang hari tanggal 7 Februari 2012. Hari dimana kami dan pesantren menangis. Saat itu aku baru duduk di bangku kelas satu Madrasah Aliyah. Suara keras pengumuman dari Masjid Pesantren. Semua santri beserta guru tanpa banyak bercakap berhamburan. Hanya satu tempat yang akan dituju, rumah kediaman beliau, tepatnya di Mangkoso. Kami tiba, rumah itu sudah sesak dengan banyak orang. Suara tangis seakan saling berlomba. Aku kala itu duduk termenung, hatiku belum bisa percaya apa yang terjadi. Hatiku belum bisa menerima kenyataan kepergian beliau. Bahkan air mata sulit rasanya untuk aku jatuhkan. Bukan karena hatiku sudah keras dan tak menganggap beliau adalah hal luar biasa, tapi aku masih menimbang, aku masih memercayai, “Beliau masih ada, beliau masih ada.” Aku baru saja mencicipi bagaimana arti sebuah keikhlasan jika sudah menjelma dalam diri seseorang. Tapi... kepergian itu terasa begitu cepat bagiku.

Aku terisak menangis di kamar kecil ini. Sendiri. Ingin aku persembahkan tulisan kecil untuk mengenang, untuk mengabadikan, untuk mewakili isi hati yang selama ini belum tersampaikan. Momen yang teringat dalam hatiku adalah saat kelas satu Madrasah Aliyah. Saat aku memulai perjalanan baru selepas Madrasah Tsanawiyah. Memulai kebiasaan baru di lingkungan asrama putri. Tiga tahun aku menempuh pendidikan di Madrasah Tsanawiyah. Hanya sekadar mengikuti pelajaran di sekolah. Tidak dengan pendidikan yang sebenarnya yaitu pengajian di Masjid Pesantren selepas maghrib dan subuh. Aku bersyukur aku menjadi yang terbaik di kelasku, ternyata Allah masih memberiku kenikmatan untuk tetap mencicipinya. Namun satu hal yang tak bisa aku sembunyikan dibalik kenikmatan itu. Satu hal yang terkadang membuatku malu pada diri sendiri, adalah aku tidak tinggal dan berbaur bersama santriwati lain di Pesantren, tapi memilih tinggal bersama orang tua di rumah. Aku saat itu masih belum bisa melepaskan diri dari dekapan orang tua, terutama ibu. Aku bermalam di Pesantren mungkin hanya beberapa malam saja, dan setelah itu kembali lagi ke rumah. Pernah aku mendapatkan satu teguran keras dari Bapak karena kala itu aku meminta Ibu untuk menemani tidurku, “Sudah besar begitu masih mau tidur dengan Ibu.” Aku meneteskan air mata, tapi tetap saja aku tak ingin pisah dengan Ibu.

Seiring berjalannya waktu, bertambah pula usia. Memasuki bangku Madrasah Aliyah aku memantapkan hati untuk tinggal di Pesantren. Suasana suka, duka, canda, tangis, menjadi kebahagiaan tersendiri. Kegiatan-kegiatan kepesantrenan; shalat berjama’ah, pengajian kitab, training dakwah, belajar tambahan ba’da ashar seperti Nahwu, Sharaf, Al-Qur’an, dan lain-lain sudah menjadi rutinitasku setiap hari. Aku mulai menikmati suasana itu.

Jam lima sore, semua santri dan santriwati diwajibkan untuk berada di Masjid. Rutinitas dzikir menjelang maghrib, beliau yang akan memimpinnya. Terkadang berjalan ke shaf belakang, tepatnya shaf santriwati. Suara khas dari tongkat beliau ketika berjalan membuat kami sedikit pun tak berani untuk bergerak, bahkan rasanya untuk bernafas pun sangat hati-hati. Kami merasa takut, padahal jiwa pemarah tak pernah kami temukan di sana. Dialah sosok yang begitu kami hormati dan segani. Aku memejamkan mata, berusaha tenggelam dalam bait dzikir seraya menikmati dentingan suara tongkat yang lewat di belakangku.

Tentang keikhlasan. Entah bagaimana caranya aku bisa menggambarkan itu semua. Yang aku lihat saat ini adalah buah dari keikhlasan itu. Semua guru, pembina, dan alumni yang mengabdikan diri untuk Pesantren merupakan salah satu cerminan bagaimana sosok beliau dalam ikhlas mengajar dan mendidik santrinya. Tak hanya sekadar bermodalkan tanggung jawab, karena bisa jadi dalam tanggung jawab itu sendiri masih tersimpan suatu beban, masih tersimpan suatu harapan untuk meminta hak, bahkan mungkin masih tersimpan keluhan-keluhan dalam menjalaninya. Tapi tidak halnya dengan sebuah “keikhlasan”, ia berpangkal dari sebuah ketulusan hati tanpa pamrih. Itu bisa terlihat bagaimana beliau tidak mengambil gaji sepeser pun. Pribadi siapa yang sanggup melakukan hal itu kecuali yang telah terpatri hati dan jiwanya hanya semata-mata untuk Rabbnya.

Jika menyebut Pesantren DDI Takkalasi, atau bahkan secara lengkap, “Pondok Pesantren al-Ikhlash ad-Dary DDI Takkalasi” maka yang paling kuat terkenang dan teringat adalah sosok kepemimpinan tangguh dari beliau. Sosok yang selalu kami rindukan, “AG. K. Muh. Fashih Musthafa, BA”. Keikhlasan tak perlu dibuktikan dengan mengumbar kelebihan yang dipunya di depan orang lain. Keikhlasan cukup dibuktikan melalui ucapan orang-orang yang telah mencicipinya. Aku bahkan tak perlu bertanya ke semua alumni yang pernah menimba ilmu dari beliau hanya sekadar untuk membuktikan apakah keikhlasan itu benar-benar ada dalam diri beliau atau hanya sekadar hoax. Cukup lihat bagaimana keadaan Pesantren tercinta saat ini. Sejak awal diletakkan batu pertama, sejak belum ada gedung resmi, sejak kata layak – mungkin – belum bisa dikatakan, hingga saat ini. Saat di mana gedung-gedung madrasah berdiri berjejeran, dari tingkat Raudhatul Athfal hingga Madrasah Aliyah. Bagaimana antusias para orang tua untuk memercayakan anak-anaknya belajar dan menetap di Pesantren. Bagaimana bantuan dan kepercayaan masyarakat adanya sebuah Pesantren DDI yang bernafaskan ahlu al-sunnah wa al-jama’ah berdiri di Takkalasi. Kepercayaan masyarakat dan terutama orang tua santri tak akan mudah didapatkan begitu saja. Semua tak akan terlepas karena melihat seorang pemimpin yang begitu ikhlas yang dianggap akan memberikan perubahan besar untuk kemajuan Islam melalui Pesantren yang dipimpinnya. Melalui beliau, CAHAYA ilmu terpancar. Melalui beliau, CAHAYA keikhlasan bersinar. Dan melalui beliau, CAHAYA pesantren Takkalasi berkilau.

Aku melalui tulisan sederhana ini, hanya mampu mengucapkan “Dua Kata” untuk mewakili seluruh ucapan yang mungkin para warga DDI Takkalasi tercinta juga selalu ucapkan dalam hatinya. “Terima Kasih” untuk segala keikhlasan beliau dalam mendidik dan mengajarkan ilmunya kepada kami. Tak ada balasan serupa yang bisa kami berikan, terkecuali doa yang selalu terpanjatkan. Melalui ilmu yang telah beliau berikan, akan menjadi pahala yang tiada putusnya untuk beliau jika diamalkan kembali kepada orang lain. Harapan kami kepada seluruh guru yang saat ini mengajar dan mengabdikan diri untuk Pesantren tercinta, dan semua yang pernah meneguk ilmu di Takkalasi, semoga keikhlasan beliau dalam banyak hal, terutama dalam mengajar selalu teringat dalam benak. Tak hanya sekadar mengingat, tapi mencontoh apa yang telah beliau lakukan untuk Pesantren. Agar cita Pesantren “Akhlak dan Ilmu” bisa menjadi darah kental yang melekat pada jiwa Pesantren DDI Takkalasi.

Jakarta, 30 Januari 2018

Senin, 05 Februari 2018

Sisa Harapanku

Saat kata ''menunggu" mulai tak memihak, aku perlahan pasrah pada keadaan yang ada. Apa yang pernah terbesit dalam hati, bahkan terlisankan oleh lidah perlahan meninggalkan tempat awalnya.
Aku pernah mengatakan pada diri sendiri ingin bertahan dan ingin bersamamu, tapi ketidakpedulianmulah yang pada akhirnya menenggelamkannya.
Kini, ikrar itu pun tergantikan. Dan aku yang harus kembali menyembuhkan lukaku dengan cara luka, dengan cara melenyapkanmu dari sisa-sisa harapanku. 

KETIDAKMENGERTIANKU TENTANG SEMUA INI Part 2

Jika kamu pernah terluka karena sesuatu, kamu pasti tahu berapa lama pula waktu yang pernah kamu butuhkan untuk bangkit dari sana. Belum ...